Durga, Dewi Cantik yang Menjadi Iblis

Durga, di candi-candi berelemen Siwa di Jawa, diletakkan di sisi utara. Sosok Durga, dibandingkan dengan sosok lain, merekam perkembangan masyarakat pada masa itu. Jika kita pergi ke Candi Prambanan di Kab. Sleman, dan pergi ke sisi utara candi utama, maka kita akan menemukan arca Rara Jonggrang. Namanya memiliki arti, wanita yang berpinggang ramping. Inilah Durga.

File:Durga Loro Jonggrang copy.jpg - Wikimedia Commons

Berjarak 2.5 jam berkendara dari titik keberadaan Rara Jonggrang, kita akan menemukan Durga yang lain, di Candi Sukuh, Kab. Karanganyar. Anehnya Durga di candi ini berambut gimbal dan bertaring, memimpin bala tentara roh jahat.

Masyarakat Jawa Kuno yang beraliran Siwa, percaya adanya dewa. Dewa membutuhkan energi dalam aktivitasnya, yang disebut Shakti. Dari kata inilah, diserap ke bahasa Indonesia, yakni ‘sakti’, sehingga jika manusia memiliki energi yang melebihi rata-rata manusia lainnya, maka disebut orang sakti, atau punya kesaktian.

Shakti para dewa, dipersonifikasikan dengan bentuk feminim, sementara para dewa dipersonifikasikan sebagai maskulin. Sehingga masing-masing dewa memiliki shakti sebagai pasangannya. Dewa Siwa, memiliki pasangan yang bernama Dewi Parwati atau Dewi Uma.

Goddess Parvati and her son Ganesha.jpg
Parwati menggendong Ganesha.

Orang Jawa kuno percaya terdapat tiga aspek di dalam diri setiap dewa. Dewi Parwati pun demikian, memiliki aspek santa atau ketenangan yang diwujudkan sebagai Dewi Parwati atau Dewi Uma sendiri. Aspek krodha atau ugra yang bermakna kemarahan, diwujudkan dalam bentuk Durga. Aspek krura atau kebengisan, diwujudkan dalam bentuk Dewi Kali.

Ada perang abadi antara kebaikan melawan kejahatan dalam kosmologi Hindu yang dipersonifikasikan sebagai perang antara dewa melawan asura. Pasukan asura dipimpin oleh Mahishasura, berwujud kerbau jantan. Saat asura lebih unggul, para dewa dipimpin Dewa Indra dan Dewa Brahma memohon pertolongan pada Dewa Siwa, yang kala itu sedang berbincang dengan Dewa Wisnu. Akibatnya Dewa Siwa dan Dewa Wisnu murka. Api yang sangat panas terpancar dari wajah dua dewa tersebut, disusul dewa yang lain, sehingga terbentuk gunung api yang sangat besar. Gunung api ini kemudian berubah wujud menjadi seorang wanita cantik, Durga. Durga juga diberi nama Candika, asal dari kata ‘candi’ yang sekarang kita kenal, untuk menamai bangunan-bangunan masa sebelum Islam datang yang terbuat dari batu.

Durga yang terbentuk dari energi (shakti) kemarahan para dewa, diberi berbagai senjata oleh para dewa. Durga turun laga mengendarai seekor harimau jantan, atau singa di versi kisah lain. Terjadi perang antara Durga dan ashura hingga akhirnya Durga mengalahkan Mahishasura. Sejak itulah Durga dikenal sebagai Durga Mahishasuramardini atau juga ditulis Durga Mahisasuramardini, yang berarti Durga sang pembinasa Mahishasura.

Durga yang cantik ini dikenal oleh masyarakat Jawa Kuno sebelum masa Majapahit, dan diabadikan di candi-candi pra-Majapahit. Begitu banyak arca Durga Mahishasuramardini di candi-candi Jawa menunjukkan betapa sosok ini sangat populer. Dari seluruh arca Durga Mahishasuramardini di Jawa, hanyalah di candi Prambanan yang paling terkenal dan indah.

Durga tak hanya digambarkan sebagai wanita yang sangat cantik, namun juga adikodrati dengan tangan berjumlah empat, delapan, hingga sepuluh. Masing-masing tangan memegang senjata pemberian para dewa. Di India, Durga sangat umum digambarkan menunggangi harimau, namun di Jawa lebih umum menunggangi kerbau sebagai musuhnya.

Salah satu lengan Durga menjambak rambut raksasa cebol yang telah ditaklukkannya. Sosok raksasa yang cebol ini adalah kunci untuk mempelajari Tantra. Ini adalah sifat asli dari Mahishasura yang berwujud kerbau. Sifat ini adalah ‘Kāma’ berarti nafsu birahi, ‘Krodha’ berarti kemarahan, ‘Lobha’ berarti keserakahan. Sifat ini adalah energi yang sangat besar di dalam diri manusia. Semakin jahat manusia, maka energi ini juga semakin besar. Untuk memusnahkan energi tersebut, membutuhkan energi shakti yang minimal, sama besar.

Energi shakti harus dibangkitkan dalam diri seseorang. Energi shakti yang besar, dipersonifikasikan dengan Durga Mahishasuramardini dengan delapan tangan memegang senjata para dewa. Energi sifat asura dipersonifikasikan dengan Mahishasura yang berwujud kerbau, namun memiliki intisari sifat yang digambarkan raksasa cebol. Maka, hanya Durga Mahishasuramardini yang bisa menghancurkan energi asura di dalam diri manusia. Pengikut Tantra, menjadikan Durga sebagai lambang untuk dipuja.

Tantra tetaplah ajaran rahasia walaupun populer. Banyak tokoh yang menganut ajaran ini pada masa itu, termasuk Raja Kertanegara dari Singasari. Raja Kertanegara menganut Tantra aliran Bhairawa (Bhairava), dan saat itu membuat ajaran itu tumbuh pesat. Kuburan adalah tempat yang paling suci menurut penganut Tantra, karena merupakan tempat bagi tubuh untuk kembali menjadi unsur Panca Maha Butha menuju siklus selanjutnya.

Panca Maha Butha terdiri dari:
1. Pertiwi; unsur padat / tanah
2. Apah; unsur cair /air
3. Teja; unsur cahaya / api
4. Bayu; unsur angin / udara
5. Akasa; Ruang / eter.

Orang Jawa Kuno percaya ada triguna atau tiga sifat di dalam manusia. Sifat pertama adalah sattva atau tenang dan bijaksana, yang disimbolkan dengan warna putih. Rajas adalah yang kedua, memiliki makna dinamis atau bernafsu disimbolkan dengan warna merah. Ketiga adalah Tamas, yakni pasif atau kedunguan batin, yang dilambangkan warna hitam. Untuk mencapai kesempurnaan, maka sifat Rajas dan Tamas harus dihilangkan, yang disimbolkan dengan penumpahan darah yang juga berwarna merah bahkan kehitaman.

Terdapat kisah Purana tentang shakti Dewa Siwa yang ketiga, yaitu Dewi Kali yang mengalahkan musuh dengan meminum darah mereka. Dewi Kali juga dianggap menjaga kuburan. Pada hal ini, upacara penumpahan darah ini menyebabkan Durga dan Kali saling bertumpang tindih dan berbaur, membentuk konsep Durga Kali, Durga yang akhirnya bersifat bengis, dikenal juga sebagai Ra Nini.

Menelisik Wayang sebagai Seni Bayang-Bayang – Jernih.co

Durga bertaring muncul karena orang-orang di luar Tantra mengidentifikasi Durga yang dipuja oleh para pengikut Tantra. Pengikut Tantra aliran Bhairawa memiliki upacara yang sangat rahasia, disebut Panca Makara Puja. Lima ritual tersebut adalah Matsya, Mamsa, Madhya, Mudra, dan Maithuna.

Matsya diartikan memakan ikan. Mamsa diartikan memakan daging manusia. Madhya diartikan minum minuman hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan hilangnya kesadaran. Mudra diartikan menari-nari, dan Maithuna yang berarti melakukan pesta seks.

Perlu dicatat, karena ritual Tantra Bhairawa ini sudah dikatakan sangat rahasia, maka di titik ini, terkait apakah hal itu memang dilakukan atau tidak, kita perlu terbuka untuk semua kemungkinan. Jikalau memang dilakukan seperti demikian, bisa jadi memang ada kesalahan tafsir dari teks yang maknanya tersirat.

Citra tersebut membuat Tantra Bhairawa begitu asusila, sehingga Durga Ra Nini dianggap sering berbuat hal-hal yang demikian. Beberapa karya sastra akhirnya menyudutkan Durga Ra Nini. Kitab Korawasrama mengisahkan bahwa Dewi Uma berselingkuh dengan Dewa Surya dan pengembala lembu sehingga dikutuk sebagai Durga Ra Nini. Kidung Sudamala menceritakan Dewi Uma berselingkuh dengan Dewa Brahma dan dikutuk menjadi Durga Ra Nini.

Kisah dari Kitab Tantu Panggelaran, sangat representatif dengan Panca Makara Puja. Kisah ini menceritakan, setelah sekian lama Dewi Uma berselingkuh dengan pengembala berlalu, anak Dewa Siwa yang bernama Kumara menghadap ibunya, Dewi Uma. Ada hal kurang berkenan yang diucapkan Kumara sehingga membuat Dewi Uma membunuh anaknya. Dewi Uma meminum darah dan memakan anaknya.

Dewa Siwa mengetahui hal itu, sehingga dikutuklah Dewi Uma menjadi raksasi bernama Bathari Durga. Budaya Jawa Kuno kemudian mengenal sosok Bathari Durga sebagai personifikasi demonis yang memimpin siluman dan roh-roh jahat. Istananya berada di Setra Gandamayit, atau kuburan.

Bathari Durga dan Bathara Guru (awatara Siwa)

Akhir keberadaan Majapahit, ajaran biasa sudah mulai luntur, seiring dengan merosotnya kalangan istana. Ajaran Tantra justru semakin kokoh di kalangan arus bawah. Durga Mahisashuramardini yang cantik, akhirnya kalah populer dengan Durga Ra Nini yang bertaring.

Candi Singasari, Candi Jawi, dan beberapa candi-candi yang sudah ada sejak Majapahit belum didirikan, masih kental menampilkan Durga Mahishasuramardini. Hal ini berlaku pada candi-candi bernuansa Tantra. Berbeda dengan candi-candi di masa akhir Majapahit, seperti Candi Penataran, Candi Tegawangi, atau Candi Sukuh, yang menampilkan Durga Ra Nini bertaring.

Durga Ra Nini diwarisi oleh pujangga Jawa zaman pertengahan untuk menyusun cerita pewayangan. Kisah tentang asal-usul Bathari Durga dimulai dengan Dewa Siwa dan Dewi Uma yang menunggangi Lembu Andini (atau Nandini) di atas samudra. Akibat sandyakala, atau petang, masa sebelum malam, Dewa Siwa menjadi bernafsu dan mengajak Dewi Uma bersanggama. Dewa Uma menolak, sehingga terjadi pemaksaan. Salah posisi membuat sperma Dewa Siwa jatuh ke samudra yang kemudian dikenal sebagai Kamasalah, awal lahirnya Bathara Kala. Dewa Siwa marah, dan mengutuk istrinya menjadi Bathari Durga, mengusirnya dari kayangan.

Bagi penganut Tantra, sosok Durga Mahishasuramardini tidak berubah, dan dipuja sebagai lambang kebutuhan akan shakti yang besar, untuk menghancurkan energi asura di dalam diri manusia, agar terputus siklus kelahiran kembali. Bagi kalangan di luar istana yang awam, yang hidupnya bergulat dengan kondisi ekonomi yang timpang, mereka lebih membutuhkan sosok Durga Ra Nini untuk membebaskan mereka dari kesulitan hidup, dan kemudian dikenal dengan tradisi ruwat.

Apa yang populer di kalangan arus bawah akan mengalahkan yang populer di kalangan elit. Lapisan sosial masyarakat Jawa Kuno tidak benar-benar menyatu. Tiap lapisan punya masalahnya sendiri, dan Jawa memiliki kekuatan sinkretis dan akulturasi sebagai bentuk perlawanan yang menunjukkan ketidaksetiaan pada sumber-sumber India. Peleburan terjadi di mana-mana. Kisah-kisah dan naskah-naskah terkenal ditulis sesuai kecerdasan pujangganya, melahirkan Sudamala, Tantu Panggelaran, Pararaton, juga Serat Calon Arang. Empat karya tersebut kental dengan nuansa ruwat dan Durga Ra Nini.

Saat lapisan sosial atas mengalami kemerosotan, maka lapis sejati Jawa muncul. Masyakarat Jawa Kuno tak mau tunduk begitu saja pada ajaran dari luar yang masuk, apalagi ajaran yang membuat tradisi-tradisi yang selama itu dianggap baik, harus ditinggalkan. Konsep punden berundak, yang umum ada di zaman megalithikum pun tak lepas dari hal yang teguh dipakai, dan berdampingan dengan konsep Durga Ra Nini serta konsep ruwat. Wujud ini tergambar di Candi Sukuh.

Candi Sukuh berada di Kab. Karanganyar, Jawa Tengah. Berbatasan dengan Kab. Magetan di Jawa Timur. Bentuk Candi Sukuh dihubungkan dengan piramida Amerika Selatan. Candi ini memiliki relief kasar dan miring seperti wayang. Tampaknya di bagian paling atas dahulu ada bagian yang terbuat dari kayu, yang kini sudah hilang. Bagian paling suci ada di belakang dan bertebaran sengkalan tahun seputar keruntuhan Majapahit dan unsur tradisi ruwat serta pemujaan Bima. Sangat khas era Majapahit akhir.

Relief Durga Ra Nini yang turun ke bumi, tampak seperti gambar berikut.

MEMBACA RELIEF CANDI SUKUH YANG UNIK (Periode akhir Majapahit ) – Galery  ilmiah

Durga, sosok dengan aksesoris paling banyak, memegang semacam parang, memimpin rombongan roh roh jahat. Tampak tangan yang melayang, kepala tanpa badan, dua perempuan bertaring di belakangnya adalah wadokala. Menurut kidung Sudamala yang seusia akhir Majapahit, hantu kepercayaan Durga Ra Nini adalah Kalika. Namun pujangga lain menciptakan kosmologi yang berbeda di dunia pewayangan. Durga Ra Nini dikisahkan sebagai Jaramaya, tentaranya disebut Bajobarat.

Menurut kepercayaan Jawa Kuno, hantu atau dhemit bukan sengaja diciptakan untuk menggoda manusia seperti kepercayaan agama abrahamik. Sebaliknya Bathari Durga dan bala tentaranya adalah personifikasi kosmos yang tidak seimbang. Alasan itulah yang membuat Bathari Durga dan makhluk astral tercipta dari para bidadara dan bidadari yang mengalami kutukan akibat kesalahan mereka.

Di sini ada perbedaan konsep antara Durga Mahishasuramardini dan Durga Ra Nini. Durga Mahishasuramardini adalah pribadi, sedangkan Durga Ra Nini adalah kondisi. Kondisi ini mengindikasikan ada kemalangan dan kejatuhan. Kondisi malang harus diperbaiki, dan disebut sebagai nglukat atau pelepasan. Lukat kemudian berubah kata menjadi luwar, dengan arti yang sama. Kemudian beranagram menjadi ruwat.

Kisah ruwat di dalam Candi Sukuh dimulai dari Sadewa, si bungsu pandawa diikat di pohon randu Setra Gandamayit, tempat istana Durga Ra Nini. Durga Ra Nini meminta Sadewa meruwat dirinya agar kembali suci dan lepas dari kutukan. Tapi Sadewa menolak karena ia tahu bahwa ia tidak mampu. Maka Durga Ra Nini murka dan dengan parangnya ia mengancam untuk membunuh Sadewa.

Bathara Guru menyelamatkan Sadewa dan berjanji akan meruwat Durga Ra Nini. Bathara Guru akhirnya merasuk ke tubuh Sadewa. Sadewa berhasil meruwat Durga Ra Nini. Kutukannya hilang dan ia menjadi cantik kembali. Pengikutnya, yang serupa roh jahat pun berubah menjadi bidadari. Posisi-posisi dari dua relief sebelum Durga Ra Nini diruwat dan sesudah diruwat dibuat sama persis layaknya kondisi ‘before and after’.

Posisi tokoh di relief ini sama dengan posisi tokoh di relief saat Durga Ra Nini belum diruwat.

Candi Sukuh adalah pesan tentang perubahan. Dewi Uma yang sudah berhasil diruwat, memberikan gelar kepada Sadewa, yakni Sudamala. Sudamala diutus ke pertapaan Prangalas oleh Dewi Uma untuk menyembuhkan Begawan Tambapetra dari kebutaan. Sudamala berhasil menyembuhkan beliau, dan ia pun dinikahkan dengan Ni Padapa, anak Begawan Tambapetra.

Relief lain di Candi Sukuh menceritakan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya yang menyerbu benteng Pandawa, dan Bima bertarung serta menusukkan kuku pancanakanya. Raksasa pun berhasil dikalahkan, dan berubah kembali menjadi Bidadara setelah diruwat. Lepas dari kutukan karena dibunuh oleh Pandawa.

Leitmotiv: Panduan "Membaca" Relief - Kompasiana.com

Ruwat adalah tindakan ritual yang harus dilakukan untuk membersihkan seseorang dari kekotoran atau mala dan kemalangan. Tradisi ini begitu lekat dengan masyarakat dan marak dilakukan di masa akhir kerajaan Majapahit, sehingga banyak karya sastra yang menyinggungnya.

Serat Calon Arang menceritakan bahwa Pu Baraddah, berhasil meruwat Calon Arang, ratu teluh yang sudah membunuh begitu banyak manusia. Tantu Panggelaran mengisahkan Bathara Guru (awatara Siwa) mengutuk Dewi Uma menjadi raksasi karena memakan anaknya sendiri.

Pertunjukan wayang kulit adalah dasar ritual ruwat Jawa Kuno yang diwarisi para pujangga pada masa pertengahan (abad 13 s.d. 16 Masehi) dalam pengembangan cerita pewayangan, tentu dengan perkembangan yang berbeda tergantung pujangga dan lokasi dibuatnya.

Masih ingat dengan kisah sperma Dewa Siwa yang jatuh ke samudra? Kamasalah, bayi yang lahir dari tetesan sperma Dewa Siwa ke samudra, tumbuh menjadi raksasa yang rakus. Kamasalah naik ke kayangan dan melawan para dewa. Dewa Siwa dalam wujud Bathara Guru pun mengalahkan Kamasalah dan mengakuinya sebagai anak, diberi gelar Bathara Kala.

Bathara Kala meminta izin memangsa di bumi. Ayahnya mengizinkan dengan perjanjian bahwa Bathara Kala harus tunduk pada siapa saja yang mampu membaca rajah Kalacakra yang dituliskan di tubuh Bathara Kala. Dewa Wisnu khawatir akan kemusnahan manusia karena kerakusan Bathara Kala, lalu ia turun ke bumi bersama dewa dewa lainnya. Dewa Wisnu menyamar sebagai dalang dan dewa dewa lainnya menjadi niyaga –penabuh gamelan– dan mempertunjukan wayang kulit yang mengundang Bathara Kala. Bathara Kala mengganggu –namun itu yang diharapkan– Dalang Kandhabuwana yang merupakaan jelmaan Dewa Wisnu. Dewa Wisnu mampu membaca rajah Kalacakra di tubuh Bathara Kala, sehingga Bathara Kala tunduk pada Dewa Wisnu.

Dalang Kandhabhuwana kemudian menetapkan siapa saja yang boleh dimangsa Bathara Kala. Mereka adalah orang-orang dengan ciri-ciri tertentu. Orang ini jika tidak ingin dimangsa oleh Bathara Kala, harus diruwat agar tidak hidup dalam kemalangan dan celaka. Kisah ini disebut Murwakala, yang harus dipentaskan sebagai wayang kulit saat ruwat dilaksanakan. Tradisi ruwat adalah elemen penting bagi masyarakat Jawa, dan berkembang menjadi ruwat desa dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk menghilangkan suatu bencana di kawasan tertentu, atau kita kenal sebagai tolak bala.

Salah satu tradisi ruwat, menjadi pertunjukan budaya, yakni pemotongan rambut gimbal di daerah Dieng. Mereka yang sudah diruwat, dianggap bersih dan bebas dari incaran Bathara Kala atau hal-hal celaka lainnya. Ruwat dianggap membawa manusia pada pengertian akan diri manusia yang sejati. Sosok yang ideal merujuk pada Bima, yang telah mendapatkan pengetahuan dari Dewa Ruci, yang ditulis oleh Pu Siwamurti dalam kitab Nawaruci.

Bima diutus oleh Begawan Durna, gurunya, untuk mencari air keabadian. Setelah mencari ke berbagai tempat, Bima masuk ke dalam samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci yang sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri. Bima kemudian diberi pengetahuan sejati. Usai keluar dari dalam samudra, Bima berubah menjadi pribadi yang sempurna. Kisah ini dipahatkan di Candi Sukuh.

Tentang erotisme dan keagungan Candi Sukuh – Jelajah Langkah

Sosok Bima menjadi sosok yang ideal sebagai manusia sempurna di zaman akhir Majapahit. Bima juga dianggap sebagai perwujudan Bhairawa, salah satu aspek Dewa Siwa yang dipuja penganut Tantra. Pemujaan terhadap Bima menjadi marak pada kala itu.

Murwakala - Kumpulan Cerita Wayang

Dalam tradisi Jawa, ruwatan perseorangan memiliki syarat untuk melakonkan wayang Murwakala. Kisah Sudamala, seperti yang ada di Candi Sukuh, biasanya dipilih untuk ruwat dengan tujuan membersihkan desa. Perbedaan skala ini begitu mencolok, antara perseorangan dengan daerah. Candi Sukuh, tak hanya memiliki kisah Sudamala, tak hanya memiliki kisah Dewa Ruci dan Bima. Kisah yang ada di Candi Sukuh, melebihi persyaratan untuk meruwat sebuah desa atau kadipaten. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa candi ini didirikan untuk sarana yang tidak biasa.

Candi Sukuh kemungkinan besar dibangun untuk meruwat negara. Pada masa itu, pengaruh Majapahit mulai tergerus. Rakyat kecil adalah korban dengan berbagai krisis, termasuk kepemimpinan. Candi Sukuh pun dibangun dengan kualitas tekstur bangunan yang kasar karena terburu-buru dan terdesak, agar Majapahit sentosa kembali seperti masa lalu.

Majapahit runtuh. Konflik internal memudahkan keturunannya menggempur raja terakhir yang bertahta. Nama Majapahit mungkin adalah kenangan, tapi kemakmuran nusantara tidak bisa dipandang sebelah mata. Kecantikan Ibu Pertiwi begitu menyilaukan mata, membuatnya menjadi incaran berbagai pihak. Kesentosaan nusantara bukan hanya cita-cita dan doa, tapi adalah tugas kita untuk mewujudkannya. Saat Ibu Pertiwi dikuasai secara paksa, tipu muslihat, seakan-akan diperkosa, maka hanya tentang waktu, ia akan menuntut balas pada apa dan siapa saja.

Mengapa Hiasan Berbentuk Penis Banyak Kita Temukan di Bali?

Image

Hal ini bukanlah tentang mesum sama sekali. Penis ternyata tak jauh-jauh dari konsep Lingga (liṅga) Hinduisme Shiva yang dianut oleh mayoritas penduduk Bali. Konsep lebih lengkapnya adalah Lingga-Yoni, lambang kesuburan. Menurut Encyclopedia Britannica, liṅga adalah simbol Shiva dan dipuja sebagai lambang kekuatan generatif. Sedangkan pasangannya, Parashakti atau yoni, sebagai lambang vagina, melengkapi liṅga sebagai persatuan feminin dan maskulin secara totalitas, sebab dari semua.

Kata lingga tidak ditemukan dalam Rigveda atau Veda lainnya. Kata lingga muncul di awal Upanishad, tetapi konteksnya menunjukkan bahwa itu hanya berarti “tanda” seperti “asap adalah tanda api”. Ada syair dalam Atharvaveda yang memuji pilar (Sanskerta: stambha), dan ini adalah salah satu kemungkinan asal mula pemujaan Lingga (dalam Encyclopedia of Hinduism, 1997). Menurut Swami Vivekananda, Siwa-lingga berasal dari gagasan Yupa-Stambha atau Skambha dari ritual Weda.

Istilah tersebut berarti tiang pengorbanan yang kemudian diidealkan sebagai Brahman yang kekal. Menurut Vivekananda, sangat mungkin konsep lingga mempengaruhi stupa agama Buddha yang berbentuk seperti puncak batu lingga. Jadi, Lingga ini tak hanya ada di Bali tetapi di tempat-tempat lain dengan bentuk yang lebih “samar”. Apalagi di India. Namun, Lingga banyak dihancurkan setelah invasi tentara Islam abad ke-11 ke India karena lingga dianggap sebagai penyembahan dari organ seksual laki-laki.

Berikut adalah beberapa contoh lingga di dunia.

Image
Mukha-linga, dengan wajah yang dibuat pada abad kelima
Image
Sahasra-linga, dengan 1001 miniatur lingga diukir di pujabhaga (lingga utama) mengikuti prinsip geometri tertentu (diatur dalam 99 garis vertikal, 11 horizontal).
Image
Siwa Lingga disembah oleh pemuja Kushan, sekitar abad ke-2 Masehi
Image
Lingodbhava (periode dinasti Chola)

Hal yang unik adalah di Thailand, yang walaupun mayoritas Buddhis, tapi masih menjalankan tradisi Hindu dengan menempatkan dewa dan dewi sebagai sosok tidak abadi walau berumur sangat panjang. Lingga ini disebut Palad Khik, yang juga dijadikan jimat.

Image

Palad Khik biasanya dipakai oleh laki-laki Thailand dengan tali yang melingkari pinggang mereka di balik pakaian. Bukan hal yang aneh jika seorang pria mengenakan banyak palad khik sekaligus, dengan harapan dapat menarik perhatian wanita, menang judi, dan tolak bala.

Kadang-kadang, wanita di Thailand juga membawanya di dompet mereka untuk melindungi mereka dari pemerkosaan dan penjambretan. Pemilik toko memajangnya di toko atau di area mesin kasir untuk melindungi bisnis mereka dan juga membawa keberuntungan dan penjualan. Palad khik dapat dipakai di tempat-tempat yang dianggap rendah atau najis seperti bar, kasino judi, dan rumah bordil. Hal ini karena kita dianggap kurang etis kalau memakai jimat Buddha ke dalam tempat seperti itu.

Palad Khik dan Linga, bagi tradisi Thailand tidak berbeda dengan konsep Yin Yang Tiongkok. Jimat ini harus diperkuat dengan mantra atau “Kata Bucha”, dari kata “Ghata Puja”. Rapalan itu tergantung garis “aliran” pemilik jimat, yang umumnya animisme non-buddhis. Kata Bucha Palad Khik umumnya mantra hati dengan empat suku kata (Kata Hua Jai) seperti ‘Ganha Neha’, ‘Na Ma Pa Ta’, atau ‘Ja Pa Ga Sa’. Sekarang yuk kita lihat bentuk-bentuknya. No mesum. Akhirnya, jangan anggap mesum, ya, karena ada makna luar biasa di balik tiap simbol.

Kāmadhātu, Rūpadhātu, Arūpadhātu: Hipotesis Konsep Tiga Alam di Caṇḍi Borobudur yang Kontra dengan Ajaran Buddhisme.

https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Borobudur_Temple.jpg

Konsep tiga alam ini pasti sudah diajarkan di mata pelajaran sekolah. Tapi konsep itu sebuah hipotesis yang ditawarkan Willem Frederik Stutterheim. Pada umumnya candi-candi Hindu memiliki simbol alam semesta yang punya poros wakil tiga alam. Alam dewa, leluhur, dan pahlawan di atas. Alam manusia di tengah, dan alam bawah, orang mati.

Konsep arsitektur tersebut tertulis pada Vāstu Śastra, literatur yang memuat sistem arsitektur India yang dinyatakan beberapa orang berakar pada karya-karya sastra sebelum abad 1 sebelum masehi. Lebih lanjut, Vāstu Śastra mengarahkan bahwa bangunan suci secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian: kaki, tubuh, dan atap. Tiga poin tersebut berturut-turut melambangkan dunia bawah (bhūrloka), dunia tengah tempat manusia (bhuvarloka), dan dunia atas (svārloka).

Stutterheim (1929), berangkat dari berbagai candi yang telah dipelajari selama di Nusantara, menawarkan konsep Kāmadhātu, Rūpadhātu, dan Arūpadhātu. Pengertian ini tak tepat dan sudah dibantah oleh beberapa peneliti, akademisi, dan praktisi Buddhis, tapi masih banyak diajarkan.

Ramelan, W. D. S. (ed.). (2013). Candi Indonesia Seri Jawa. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kāmadhātu, Rūpadhātu, Arūpadhātu hanyalah seolah-olah cocokologi bhūrloka, bhuvarloka, dan svārloka yang dibuat “bahasa Buddhis-nya”. Pada konsep tumimbal lahir (rebirth), pencapaian alam Arūpadhātu pun, berarti masih berada di saṁsāra. Saṁsāra (dibaca: sangsara) adalah siklus kelahiran kembali bagi semua makhluk yang belum mencapai ke-Buddha-an. Jika makhluk sudah mencapai pencerahan, menjadi Buddha, maka akan merealisasikan Nibbāna / Nirvāṇa, tak akan lahir di alam mana pun.

Hal ini pasti menimbulkan pertanyaan seperti, “Bagaimana bisa seseorang tidak dianggap belum merealisasikan nirvāṇa jika ia ada di Arūpadhātu yang sudah jelas merupakan alam tanpa wujud?” Silakan melihat diagram 31 alam kehidupan berikut.

https://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_cosmology#/media/File:Buddhist_Universe.jpg


Ārūpadhātu (sanskrit) atau Arūpaloka (pali) atau “alam tanpa bentuk” ini hanyalah salah satu dari alam kehidupan. Menurut kosmologi buddhis, alam ini tidak memiliki bentukan fisik murni lokasinya. Makhluk yang terlahir di alam ini juga tidak memiliki fisik. Makhluk di alam-alam ini sepenuhnya memiliki pikiran. Namun, karena tidak memiliki bentuk fisik atau lokasi, mereka justru tidak dapat mendengar ajaran Dharma, walau seperti ada di tingkat alam kehidupan paling tinggi.

Makhluk di Arūpadhātu hanya sedang menikmati buah (vipāka) dari karma baik dari pencapaian meditatif di kehidupan sebelumnya, hingga tiba waktunya untuk terlahir kembali ke alam yang lain. Kondisi di alam ini terbagi menjadi empat.

Alam Arūpadhātu paling rendah adalah Ākāsānañcāyatana. Di alam ini, para makhluk tanpa fisik bermeditasi dengan objek ruang (ākāśa) yang tanpa batas. Alam Arūpadhātu ketiga adalah Viññāṇānañcāyatana. Di alam ini, para makhluk tanpa fisik bermeditasi dengan objek kesadaran (vijñāna) mereka yang tanpa batas. Alam Arūpadhātu kedua adalah Ākiñcaññāyatana. Di alam ini, para makhluk tanpa fisik bermeditasi dengan objek perenungan pikiran bahwa “tidak ada apa-apa”. Pikiran ini tetap termasuk bentukan persepsi, walaupun sangat halus. Alam Arūpadhātu tertinggi adalah Nevasaññānāsaññāyatana. Di alam ini, para makhluk tanpa fisik telah melampaui penyangkalan terhadap persepsi dan tidak lagi terlibat pada bentukan persepsi, namun masih belum mencapai kesadaran sepenuhnya.

Borobudur awalnya terdiri dari bangunan seperti berikut: a) Lima teras persegi yang semakin ke tingkatan atas, akan semakin mengerucut; b) Tiga teras berbentuk lingkaran yang semakin ke atas, semakin mengerucut; c) stupa paling besar di tengah stupa-stupa kecil di tingkat teratas.

https://cdn.krjogja.com/wp-content/uploads/2020/06/borobudur-zona.jpg

Dinding paling dasar, akhirnya harus ditopang susunan batu-batu yang membentuk undakan dua panggung selebar tujuh meter dan tinggi empat meter mengelilingi seluruh candi. Tembok ini juga untuk menahan seluruh monumen candi agar tidak melorot dan longsor.

Susunan batu tambahan yang membentuk dua panggung sebagai tembok penopang inilah yang akhirnya justru disebut ‘kaki’ candi, sehingga keseluruhan candi seakan-akan bisa dibagi menjadi tiga bagian. Teras panggung, lima teras persegi, tiga teras lingkaran beserta stupa.

https://en.wikipedia.org/wiki/Borobudur#/media/File:Borobudur_Cross_Section_en.svg

Candi Borobudur tak seperti candi lainnya yang berdiri di atas dasar tanah datar dan horizontal. Borobudur dibangun di atas bukit alam sebagai fondasinya. Borobudur tidak punya ‘ruang dalam’ (garbhagṛha) untuk melakukan puja.

Penataan Borobudur juga berbeda. Kawasan candi umumnya ditata secara keseluruhan, bangunan-bangunan dibangun berdekatan, bangunan candi utama dibedakan dengan perwara (candi pendamping), dan dikelilingi pagar yang membentuk halaman bersama. Hal ini tak ada di Borobudur.

Lalu Candi Borobudur itu apa? Salim Lee (2020) mengajak kita untuk kembali kepada satu bangunan Buddhisme paling sederhana. Stupa. Stupa dan mandala raksasa dengan corak Buddha tradisi Tantrayana. Stupa adalah representasi dari kesadaran, ucapan, dan wujud yang tergugah. Stupa adalah monumen peringatan, yang pada awalnya dibangun untuk menyimpan relik dari Buddha Gotama, para bhiksu, bhiksuni, atau orang yang dihormati. bentuk stupa kubah yang menyerupai gunung berasal dari gundukan pengabuan sejak masa Brahmanisme (saat itu belum disebut Hindu).

Stupa yang merupakan bentuk alami gundukan dari jasad yang dikremasi, peninggalan dari sosok yang dihormati atau dikasihi, akhirnya dijadikan pengingat untuk dihormati, bukan disembah. Bentuk itu pun kemudian berkembang sesuai kearifan lokal. Bentukan Borobudur, stupa dan mandala raksasa ini, memang mirip dengan bentukan-bentukan stupa yang sudah berkembang di daerah Nepal dan Tibet, tempat Buddhisme Tantrayana kini ada. Selain itu juga mirip dengan beberapa stupa di India bagian utara.

Image
Kumbum Stupa (Gyantse, Tibet)
Image
Kesaria Stupa (Bihar, India)

Penamaan level Kāmadhātu, Rūpadhātu, dan Arūpadhātu bukan tanpa masalah. Anggap saja, jika stupa terbesar adalah representasi dari Nirvana, sayangnya Nirvana bukanlah sebuah tempat yang berkondisi. Ke mana padamnya api dari lilin yang mati?

Jika tetap saja stupa terbesar dimaksudkan untuk “simbolisasi” pencapaian Nirvana, putusnya siklus kelahiran kembali, maka harus ada istilah selain Arūpadhātu, yang akhirnya level candi Borobudur sudah tak bisa menjadi tiga tingkatan lagi, melainkan empat. Atau bisa saja puncak tertinggi Borobudur dianggap sebagai simbol realisasi Nirvana seperti simbol Kammaṭṭhāna (tradisi Bhikkhu hutan di Thailand). Namun tetap saja, tidak bisa disebut Arūpadhātu.

Sumber:

Stutterheim, W. F. (1929). Chandi Barabudur. Name, Form and
Meaning
. Batavia: G. Kolff & Co.

Ramelan, W. D. S. (ed.). (2013). Candi Indonesia Seri Jawa. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Vibhuti Chakrabarti (2013). Indian Architectural Theory and Practice: Contemporary Uses of Vastu Vidya. Routledge. pp. 1–2. ISBN 978-1-136-77882-7.

Lee, Salim (2020). Borobudur Bersemburat: Peninggalan Leluhur, Kini Warisan Dunia. Yayasan Dharmamega Bumi Borobudur.

Jangan Salahkan Agama Tertentu, Bahkan Sudutkan Atheis dalam Kasus Terorisme

Kasus terorisme tidak hanya menjadi salah satu hal yang menyerang negara Indonesia. Tahun 2017, tercatat delapan kasus terorisme besar yang menggemparkan dunia. Sayangnya ada yang justru mencari kesempatan untuk membuat citra sebuah kaum menjadi terpojokkan. Terorisme begitu dikecam dunia, walaupun akhir-akhir ini juga muncul spekulasi bahwa terorisme disetir oleh kepentingan politik tertentu dan tidak murni karena agama. Sangat disayangkan menurut saya kalau pembunuhan dilakukan dengan begitu keji. Tak hanya kasus terorisme saja, kasus pertikaian, peperangan, bahkan kasus genosida juga adalah hal yang menurut saya tidak pantas. Jangankan membunuh manusia.

Larangan Membunuh menurut Beberapa Kepercayaan

Sebagai negara dengan mayoritas memeluk agama Islam, maka akan saya dahului larangan membunuh yang bersumber dari Al-Qur’an dengan penjelasan berdasar website NU.

Dalam al-Qur’an dikatakan, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS: Al-Maidah: 32). Ayat ini adalah salah satu contoh kecaman Islam atas setiap pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena. Penjelasan lebih lanjut mengenai larangan dan hal-hal yang diperbolehkan untuk membunuh dapat dibaca di sini.

Alkitab menunjukkan larangan yang tertulis dalam Matius 5:21 yakni, “5:21 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum”. Penjelasan mengenai definisi pembunuhan dapat dibaca di sini. Lanjutkan membaca “Jangan Salahkan Agama Tertentu, Bahkan Sudutkan Atheis dalam Kasus Terorisme”

Sodong, Permata Buddha di Barat Ponorogo

Maraknya kasus yang memiliki topik utama mengenai agama akhir-akhir ini membuat saya menjadi penasaran. Apakah ada komunitas Hindu atau Buddha di Kabupaten Ponorogo? Dua agama ini, tentu tak bisa dilepaskan dari sejarah, dan tidak lagi bisa dipungkiri apalagi dibelokkan sejarahnya, merupakan agama yang telah ada terlebih dahulu ada di kepulauan yang belum bernama Indonesia. Ponorogo yang masih bernama Wengker (di bawah Majapahit), didatangi adik Raden Patah yang juga diutus untuk menyebarkan agama Islam, bernama Raden Joko Piturun. Berbagai upaya dilakukan, termasuk menghadapi Ki Demang Gede Ketut Suryongalam. Demang merupakan sebutan untuk seseorang yang berpangkat setara kepala daerah. Pada masa itu Wengker, di bawah pengaruh Majapahit, menganut agama sinkretisme Buddha Siwa atau Siwa Sidhanta. Akhir cerita, Raden Joko Piturun lah yang berhasil, dan mengubah nama menjadi Bathara Katong. Bathara berarti titisan dewa. Hal ini dilakukan agar masyarakat percaya pada ajaran yang dibawanya. Mari, saya lanjutkan ke bagian yang ingin saya jadikan inti.

Sodong, merupakan sebuah dusun di Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo. Di dusun ini terdiri dari beberapa masyarakat yang hidup berdampingan dalam dua agama besar, yakni Islam dan Buddha. Perjalanan saya menuju Sodong tidaklah mudah karena saya memang tidak begitu familiar dengan daerah di barat Ponorogo, yang sudah sangat dekat dengan perbatasan Kabupaten Wonogiri (juga bisa dikatakan sebagai perbatasan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah). Dalam sebuah blog, saya disarankan untuk melewati Desa Kunti karena jalannya lebih mudah. Ketika saya lewat, ternyata jalannya (mungkin) sudah rusak. Saat pulang, saya mencoba lewat Desa Glinggang (jalan utama menuju Wonogiri dari Ponorogo) ternyata jalannya sudah bagus. Nama Sodong, sudah sangat terkenal bagi warga berusia dewasa di sana. Ambil saja jalan menuju Situs Watudukun. Kemudian setelah melewati situs tersebut, silahkan menikmati jalan menanjak yang saya pribadi tidak berani jika naik mobil ke sana. Lanjutkan membaca “Sodong, Permata Buddha di Barat Ponorogo”

Adat Ketimuran, Timur yang Mana? (Adat Indonesia yang Digeser)

Negara ini mulai kehilangan jati diri. Itu menurut saya. Hal ini merupakan sebuah krisis identitas bangsa yang ironis. Di satu sisi kebudayaan sedang terus dikembangkan agar tidak tergerus oleh zaman, sedangkan di sisi lain, kebudayaan justru sedang beralih digantikan oleh kebudayaan lain. Kebudayaan, yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam peradabannya, sedang diusik oleh kepentingan-kepentingan lain yang dilatarbelakangi banyak hal.

Masih ingat perkara Miss World atau Miss Universe yang dikecam karena dianggap tidak mempertahankan adat ketimuran Indonesia? Hal tersebut tak lepas dari salah satu sesi pemotretan baju renang yang dianggap merendahkan martabat wanita. Pertanyaan dari saya adalah, “wanita yang mana?”.  Ada pula yang pernah mempermasalahkan patung, sebuah patung yang dianggap memancing nafsu syahwat, bahkan sampai di titik lain, dianggap sebagai berhala. Di tempat lain, prosesi keraton seperti kirab dan rebutan tumpeng merupakan sebuah hal yang tidak pantas dilakukan karena meminta sesuatu dari sebuah benda. Lanjutkan membaca “Adat Ketimuran, Timur yang Mana? (Adat Indonesia yang Digeser)”

Penutup Aurat pun, Tak Lepas dari Risiko Pemerkosaan

Beberapa hari yang lalu, kawan saya melintas di jembatan belakang Sengkaling yang menghubungkan Tegalgondo. Mereka berboncengan pada malam hari. Saat melintas, tiba-tiba ada pengemudi lain yang menyentuh payudara kawan saya. Kawan saya sebenarnya merupakan gadis muslim yang menutup aurat. Namun, nampaknya hal tersebut membuat saya berpikir, bahwa gadis dengan pakaian tertutup pun, bahkan tidak bebas dari risiko pelecehan seksual.

Beberapa kasus pemerkosaan tidak hanya menimpa wanita yang tidak menutup tubuh mereka secara sempurna (dalam doktrin kepercayaan). Pernah muncul berita pula mengenai pemerkosaan yang dialami oleh Biarawati Katolik. Terlepas dari pemerkosaan, bergeser pada industri adult video, ternyata kategori wanita yang memakai kerudung juga tak sepi peminat. Mengapa? Lanjutkan membaca “Penutup Aurat pun, Tak Lepas dari Risiko Pemerkosaan”

Wilis Gelap, Warna Jas Universitas Brawijaya

Jika kita pernah melihat beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia, mereka dapat mudah dikenali dari jaket atau jas kampusnya. Sebagai contoh adalah Jakun UI (sebutan umum untuk jaket kuning kampus UI), yang juga sering terkenal dengan slogan “We are the Yellow Jacket”. Hal lain adalah ITB dan IPB dengan warna biru tua, kemudian UGM yang bagi orang awam mungkin dikenal sebagai warna krem, walaupun sering disebut oleh mahasiswa UGM sebagai warna perjuangan karena memiliki warna seperti karung goni, sebagai pakaian rakyat Indonesia yang tertindas saat masa belum merdeka. Terakhir setelah saya cari menurut daftar warna, warna karung goni menurut saya memiliki warna brown yellow.

Sebagian besar masyarakat yang melihat dari jauh jas UB, mungkin juga akan berpikir bahwa jas UB memiliki warna biru tua. Oh, sayangnya tebakan ini belum sepenuhnya benar. Jas UB sepertinya memiliki warna yang sama-sama membingungkan seperti jas UGM. Mengapa? Pasalnya jas UB memiliki kamuflasu warna yang berbeda, saat di dalam ruangan dan di luar ruangan. Bahasa yang lebih sederhana, warnanya berubah saat gelap dan terang. Pada keadaan gelap, memang terlihat seperti biru tua. Pada keadaan terang, baru menjadi pertanyaan hingga sering berujung pada debat. Ada yang berpendapat berwarna hijau, biru, biru safir, hijau safir, dan lain hal. Hal ini pun baru saya (penulis) sadari saat bersandingan dengan teman-teman dari UM yang sejatinya memiliki warna jas biru tua yang pakem. Lanjutkan membaca “Wilis Gelap, Warna Jas Universitas Brawijaya”

Mempertanyakan Baju Madura sebagai Pakaian Adat Provinsi Jawa Timur

Pernahkah anda melihat sebuah poster yang berisi pakaian adat, senjata tradisional, dan rumah adat seluruh provinsi di Indonesia? Menurut saya sudah waktunya poster tersebut direvisi karena banyak keganjilan pakaian adat yang tercantum di dalamnya. Keganjilan tersebut terdiri dari pencantuman gambar pakaian adat yang justru sebenarnya adalah pakaian pernikahan –kecuali memang diberi judul “Baju Adat Pengantin”— juga keganjilan karena saya pribadi merasa kurang tepat pemilihannya. Salah satunya adalah pakaian adat Jawa Timur yang mencantumkan gambar pakaian adat rakyat Madura. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi saya mengenai alasan dan ketepatan penggunaan pakaian adat Madura sebagai pakaian adat Jawa Timur, tanpa mengurangi rasa hormat saya dengan kebudayaan Madura.

dokumen: adat-tradisional.blogspot.com

Seperti beberapa provinsi di Indonesia, perlu disatukan persepsi bahwa ada lebih dari hanya satu suku atau kebudayaan dalam sebuah provinsi. Memilih representasi pakaian adat sebuah provinsi, menurut saya dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama adalah dengan melihat kembali arsip-arsip dokumen masa lalu. Foto-foto pada masa lalu yang memperlihatkan pakaian-pakaian rakyatnya pada masa itu dapat dijadikan sebagai salah satu awal penentuan. Lanjutkan membaca “Mempertanyakan Baju Madura sebagai Pakaian Adat Provinsi Jawa Timur”

Hujan Lelaki

Derap panah basah yang memecah suara jendela

Binar matamu sedu buram melahap temaram malam

Tak sanggup mengejar lalu hari

Berjalan oleh semesta kubah asing abadi

 

Kau tahu, masa depanmu bukan milikku

Hidup ini usang menapak lembah kematian saja

Serupa kancing yang masuk untuk keluar

tiba saatnya lepas terpelanting

jatuh terbanting menggelinding

terjungkal tenggelam di kolong ranjang

atau selokan pekat busuk dan masa yang hilang

 

Hujan yang masih memanah dataran petang

kenapa masih kau paksakan mencintaiku

Sedangkan hatimu tak mungkin dipaksakan pula

Seperti kebenaran aku yang tak menerima

Seperti kita berdua yang sama abadi

sebagai lelaki

 

Malang, 15 Oktober 2017