Durga, di candi-candi berelemen Siwa di Jawa, diletakkan di sisi utara. Sosok Durga, dibandingkan dengan sosok lain, merekam perkembangan masyarakat pada masa itu. Jika kita pergi ke Candi Prambanan di Kab. Sleman, dan pergi ke sisi utara candi utama, maka kita akan menemukan arca Rara Jonggrang. Namanya memiliki arti, wanita yang berpinggang ramping. Inilah Durga.
Berjarak 2.5 jam berkendara dari titik keberadaan Rara Jonggrang, kita akan menemukan Durga yang lain, di Candi Sukuh, Kab. Karanganyar. Anehnya Durga di candi ini berambut gimbal dan bertaring, memimpin bala tentara roh jahat.
Masyarakat Jawa Kuno yang beraliran Siwa, percaya adanya dewa. Dewa membutuhkan energi dalam aktivitasnya, yang disebut Shakti. Dari kata inilah, diserap ke bahasa Indonesia, yakni ‘sakti’, sehingga jika manusia memiliki energi yang melebihi rata-rata manusia lainnya, maka disebut orang sakti, atau punya kesaktian.
Shakti para dewa, dipersonifikasikan dengan bentuk feminim, sementara para dewa dipersonifikasikan sebagai maskulin. Sehingga masing-masing dewa memiliki shakti sebagai pasangannya. Dewa Siwa, memiliki pasangan yang bernama Dewi Parwati atau Dewi Uma.
Orang Jawa kuno percaya terdapat tiga aspek di dalam diri setiap dewa. Dewi Parwati pun demikian, memiliki aspek santa atau ketenangan yang diwujudkan sebagai Dewi Parwati atau Dewi Uma sendiri. Aspek krodha atau ugra yang bermakna kemarahan, diwujudkan dalam bentuk Durga. Aspek krura atau kebengisan, diwujudkan dalam bentuk Dewi Kali.
Ada perang abadi antara kebaikan melawan kejahatan dalam kosmologi Hindu yang dipersonifikasikan sebagai perang antara dewa melawan asura. Pasukan asura dipimpin oleh Mahishasura, berwujud kerbau jantan. Saat asura lebih unggul, para dewa dipimpin Dewa Indra dan Dewa Brahma memohon pertolongan pada Dewa Siwa, yang kala itu sedang berbincang dengan Dewa Wisnu. Akibatnya Dewa Siwa dan Dewa Wisnu murka. Api yang sangat panas terpancar dari wajah dua dewa tersebut, disusul dewa yang lain, sehingga terbentuk gunung api yang sangat besar. Gunung api ini kemudian berubah wujud menjadi seorang wanita cantik, Durga. Durga juga diberi nama Candika, asal dari kata ‘candi’ yang sekarang kita kenal, untuk menamai bangunan-bangunan masa sebelum Islam datang yang terbuat dari batu.
Durga yang terbentuk dari energi (shakti) kemarahan para dewa, diberi berbagai senjata oleh para dewa. Durga turun laga mengendarai seekor harimau jantan, atau singa di versi kisah lain. Terjadi perang antara Durga dan ashura hingga akhirnya Durga mengalahkan Mahishasura. Sejak itulah Durga dikenal sebagai Durga Mahishasuramardini atau juga ditulis Durga Mahisasuramardini, yang berarti Durga sang pembinasa Mahishasura.
Durga yang cantik ini dikenal oleh masyarakat Jawa Kuno sebelum masa Majapahit, dan diabadikan di candi-candi pra-Majapahit. Begitu banyak arca Durga Mahishasuramardini di candi-candi Jawa menunjukkan betapa sosok ini sangat populer. Dari seluruh arca Durga Mahishasuramardini di Jawa, hanyalah di candi Prambanan yang paling terkenal dan indah.
Durga tak hanya digambarkan sebagai wanita yang sangat cantik, namun juga adikodrati dengan tangan berjumlah empat, delapan, hingga sepuluh. Masing-masing tangan memegang senjata pemberian para dewa. Di India, Durga sangat umum digambarkan menunggangi harimau, namun di Jawa lebih umum menunggangi kerbau sebagai musuhnya.
Salah satu lengan Durga menjambak rambut raksasa cebol yang telah ditaklukkannya. Sosok raksasa yang cebol ini adalah kunci untuk mempelajari Tantra. Ini adalah sifat asli dari Mahishasura yang berwujud kerbau. Sifat ini adalah ‘Kāma’ berarti nafsu birahi, ‘Krodha’ berarti kemarahan, ‘Lobha’ berarti keserakahan. Sifat ini adalah energi yang sangat besar di dalam diri manusia. Semakin jahat manusia, maka energi ini juga semakin besar. Untuk memusnahkan energi tersebut, membutuhkan energi shakti yang minimal, sama besar.
Energi shakti harus dibangkitkan dalam diri seseorang. Energi shakti yang besar, dipersonifikasikan dengan Durga Mahishasuramardini dengan delapan tangan memegang senjata para dewa. Energi sifat asura dipersonifikasikan dengan Mahishasura yang berwujud kerbau, namun memiliki intisari sifat yang digambarkan raksasa cebol. Maka, hanya Durga Mahishasuramardini yang bisa menghancurkan energi asura di dalam diri manusia. Pengikut Tantra, menjadikan Durga sebagai lambang untuk dipuja.
Tantra tetaplah ajaran rahasia walaupun populer. Banyak tokoh yang menganut ajaran ini pada masa itu, termasuk Raja Kertanegara dari Singasari. Raja Kertanegara menganut Tantra aliran Bhairawa (Bhairava), dan saat itu membuat ajaran itu tumbuh pesat. Kuburan adalah tempat yang paling suci menurut penganut Tantra, karena merupakan tempat bagi tubuh untuk kembali menjadi unsur Panca Maha Butha menuju siklus selanjutnya.
Panca Maha Butha terdiri dari:
1. Pertiwi; unsur padat / tanah
2. Apah; unsur cair /air
3. Teja; unsur cahaya / api
4. Bayu; unsur angin / udara
5. Akasa; Ruang / eter.
Orang Jawa Kuno percaya ada triguna atau tiga sifat di dalam manusia. Sifat pertama adalah sattva atau tenang dan bijaksana, yang disimbolkan dengan warna putih. Rajas adalah yang kedua, memiliki makna dinamis atau bernafsu disimbolkan dengan warna merah. Ketiga adalah Tamas, yakni pasif atau kedunguan batin, yang dilambangkan warna hitam. Untuk mencapai kesempurnaan, maka sifat Rajas dan Tamas harus dihilangkan, yang disimbolkan dengan penumpahan darah yang juga berwarna merah bahkan kehitaman.
Terdapat kisah Purana tentang shakti Dewa Siwa yang ketiga, yaitu Dewi Kali yang mengalahkan musuh dengan meminum darah mereka. Dewi Kali juga dianggap menjaga kuburan. Pada hal ini, upacara penumpahan darah ini menyebabkan Durga dan Kali saling bertumpang tindih dan berbaur, membentuk konsep Durga Kali, Durga yang akhirnya bersifat bengis, dikenal juga sebagai Ra Nini.
Durga bertaring muncul karena orang-orang di luar Tantra mengidentifikasi Durga yang dipuja oleh para pengikut Tantra. Pengikut Tantra aliran Bhairawa memiliki upacara yang sangat rahasia, disebut Panca Makara Puja. Lima ritual tersebut adalah Matsya, Mamsa, Madhya, Mudra, dan Maithuna.
Matsya diartikan memakan ikan. Mamsa diartikan memakan daging manusia. Madhya diartikan minum minuman hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan hilangnya kesadaran. Mudra diartikan menari-nari, dan Maithuna yang berarti melakukan pesta seks.
Perlu dicatat, karena ritual Tantra Bhairawa ini sudah dikatakan sangat rahasia, maka di titik ini, terkait apakah hal itu memang dilakukan atau tidak, kita perlu terbuka untuk semua kemungkinan. Jikalau memang dilakukan seperti demikian, bisa jadi memang ada kesalahan tafsir dari teks yang maknanya tersirat.
Citra tersebut membuat Tantra Bhairawa begitu asusila, sehingga Durga Ra Nini dianggap sering berbuat hal-hal yang demikian. Beberapa karya sastra akhirnya menyudutkan Durga Ra Nini. Kitab Korawasrama mengisahkan bahwa Dewi Uma berselingkuh dengan Dewa Surya dan pengembala lembu sehingga dikutuk sebagai Durga Ra Nini. Kidung Sudamala menceritakan Dewi Uma berselingkuh dengan Dewa Brahma dan dikutuk menjadi Durga Ra Nini.
Kisah dari Kitab Tantu Panggelaran, sangat representatif dengan Panca Makara Puja. Kisah ini menceritakan, setelah sekian lama Dewi Uma berselingkuh dengan pengembala berlalu, anak Dewa Siwa yang bernama Kumara menghadap ibunya, Dewi Uma. Ada hal kurang berkenan yang diucapkan Kumara sehingga membuat Dewi Uma membunuh anaknya. Dewi Uma meminum darah dan memakan anaknya.
Dewa Siwa mengetahui hal itu, sehingga dikutuklah Dewi Uma menjadi raksasi bernama Bathari Durga. Budaya Jawa Kuno kemudian mengenal sosok Bathari Durga sebagai personifikasi demonis yang memimpin siluman dan roh-roh jahat. Istananya berada di Setra Gandamayit, atau kuburan.
Akhir keberadaan Majapahit, ajaran biasa sudah mulai luntur, seiring dengan merosotnya kalangan istana. Ajaran Tantra justru semakin kokoh di kalangan arus bawah. Durga Mahisashuramardini yang cantik, akhirnya kalah populer dengan Durga Ra Nini yang bertaring.
Candi Singasari, Candi Jawi, dan beberapa candi-candi yang sudah ada sejak Majapahit belum didirikan, masih kental menampilkan Durga Mahishasuramardini. Hal ini berlaku pada candi-candi bernuansa Tantra. Berbeda dengan candi-candi di masa akhir Majapahit, seperti Candi Penataran, Candi Tegawangi, atau Candi Sukuh, yang menampilkan Durga Ra Nini bertaring.
Durga Ra Nini diwarisi oleh pujangga Jawa zaman pertengahan untuk menyusun cerita pewayangan. Kisah tentang asal-usul Bathari Durga dimulai dengan Dewa Siwa dan Dewi Uma yang menunggangi Lembu Andini (atau Nandini) di atas samudra. Akibat sandyakala, atau petang, masa sebelum malam, Dewa Siwa menjadi bernafsu dan mengajak Dewi Uma bersanggama. Dewa Uma menolak, sehingga terjadi pemaksaan. Salah posisi membuat sperma Dewa Siwa jatuh ke samudra yang kemudian dikenal sebagai Kamasalah, awal lahirnya Bathara Kala. Dewa Siwa marah, dan mengutuk istrinya menjadi Bathari Durga, mengusirnya dari kayangan.
Bagi penganut Tantra, sosok Durga Mahishasuramardini tidak berubah, dan dipuja sebagai lambang kebutuhan akan shakti yang besar, untuk menghancurkan energi asura di dalam diri manusia, agar terputus siklus kelahiran kembali. Bagi kalangan di luar istana yang awam, yang hidupnya bergulat dengan kondisi ekonomi yang timpang, mereka lebih membutuhkan sosok Durga Ra Nini untuk membebaskan mereka dari kesulitan hidup, dan kemudian dikenal dengan tradisi ruwat.
Apa yang populer di kalangan arus bawah akan mengalahkan yang populer di kalangan elit. Lapisan sosial masyarakat Jawa Kuno tidak benar-benar menyatu. Tiap lapisan punya masalahnya sendiri, dan Jawa memiliki kekuatan sinkretis dan akulturasi sebagai bentuk perlawanan yang menunjukkan ketidaksetiaan pada sumber-sumber India. Peleburan terjadi di mana-mana. Kisah-kisah dan naskah-naskah terkenal ditulis sesuai kecerdasan pujangganya, melahirkan Sudamala, Tantu Panggelaran, Pararaton, juga Serat Calon Arang. Empat karya tersebut kental dengan nuansa ruwat dan Durga Ra Nini.
Saat lapisan sosial atas mengalami kemerosotan, maka lapis sejati Jawa muncul. Masyakarat Jawa Kuno tak mau tunduk begitu saja pada ajaran dari luar yang masuk, apalagi ajaran yang membuat tradisi-tradisi yang selama itu dianggap baik, harus ditinggalkan. Konsep punden berundak, yang umum ada di zaman megalithikum pun tak lepas dari hal yang teguh dipakai, dan berdampingan dengan konsep Durga Ra Nini serta konsep ruwat. Wujud ini tergambar di Candi Sukuh.
Candi Sukuh berada di Kab. Karanganyar, Jawa Tengah. Berbatasan dengan Kab. Magetan di Jawa Timur. Bentuk Candi Sukuh dihubungkan dengan piramida Amerika Selatan. Candi ini memiliki relief kasar dan miring seperti wayang. Tampaknya di bagian paling atas dahulu ada bagian yang terbuat dari kayu, yang kini sudah hilang. Bagian paling suci ada di belakang dan bertebaran sengkalan tahun seputar keruntuhan Majapahit dan unsur tradisi ruwat serta pemujaan Bima. Sangat khas era Majapahit akhir.
Relief Durga Ra Nini yang turun ke bumi, tampak seperti gambar berikut.
Durga, sosok dengan aksesoris paling banyak, memegang semacam parang, memimpin rombongan roh roh jahat. Tampak tangan yang melayang, kepala tanpa badan, dua perempuan bertaring di belakangnya adalah wadokala. Menurut kidung Sudamala yang seusia akhir Majapahit, hantu kepercayaan Durga Ra Nini adalah Kalika. Namun pujangga lain menciptakan kosmologi yang berbeda di dunia pewayangan. Durga Ra Nini dikisahkan sebagai Jaramaya, tentaranya disebut Bajobarat.
Menurut kepercayaan Jawa Kuno, hantu atau dhemit bukan sengaja diciptakan untuk menggoda manusia seperti kepercayaan agama abrahamik. Sebaliknya Bathari Durga dan bala tentaranya adalah personifikasi kosmos yang tidak seimbang. Alasan itulah yang membuat Bathari Durga dan makhluk astral tercipta dari para bidadara dan bidadari yang mengalami kutukan akibat kesalahan mereka.
Di sini ada perbedaan konsep antara Durga Mahishasuramardini dan Durga Ra Nini. Durga Mahishasuramardini adalah pribadi, sedangkan Durga Ra Nini adalah kondisi. Kondisi ini mengindikasikan ada kemalangan dan kejatuhan. Kondisi malang harus diperbaiki, dan disebut sebagai nglukat atau pelepasan. Lukat kemudian berubah kata menjadi luwar, dengan arti yang sama. Kemudian beranagram menjadi ruwat.
Kisah ruwat di dalam Candi Sukuh dimulai dari Sadewa, si bungsu pandawa diikat di pohon randu Setra Gandamayit, tempat istana Durga Ra Nini. Durga Ra Nini meminta Sadewa meruwat dirinya agar kembali suci dan lepas dari kutukan. Tapi Sadewa menolak karena ia tahu bahwa ia tidak mampu. Maka Durga Ra Nini murka dan dengan parangnya ia mengancam untuk membunuh Sadewa.
Bathara Guru menyelamatkan Sadewa dan berjanji akan meruwat Durga Ra Nini. Bathara Guru akhirnya merasuk ke tubuh Sadewa. Sadewa berhasil meruwat Durga Ra Nini. Kutukannya hilang dan ia menjadi cantik kembali. Pengikutnya, yang serupa roh jahat pun berubah menjadi bidadari. Posisi-posisi dari dua relief sebelum Durga Ra Nini diruwat dan sesudah diruwat dibuat sama persis layaknya kondisi ‘before and after’.
Candi Sukuh adalah pesan tentang perubahan. Dewi Uma yang sudah berhasil diruwat, memberikan gelar kepada Sadewa, yakni Sudamala. Sudamala diutus ke pertapaan Prangalas oleh Dewi Uma untuk menyembuhkan Begawan Tambapetra dari kebutaan. Sudamala berhasil menyembuhkan beliau, dan ia pun dinikahkan dengan Ni Padapa, anak Begawan Tambapetra.
Relief lain di Candi Sukuh menceritakan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya yang menyerbu benteng Pandawa, dan Bima bertarung serta menusukkan kuku pancanakanya. Raksasa pun berhasil dikalahkan, dan berubah kembali menjadi Bidadara setelah diruwat. Lepas dari kutukan karena dibunuh oleh Pandawa.
Ruwat adalah tindakan ritual yang harus dilakukan untuk membersihkan seseorang dari kekotoran atau mala dan kemalangan. Tradisi ini begitu lekat dengan masyarakat dan marak dilakukan di masa akhir kerajaan Majapahit, sehingga banyak karya sastra yang menyinggungnya.
Serat Calon Arang menceritakan bahwa Pu Baraddah, berhasil meruwat Calon Arang, ratu teluh yang sudah membunuh begitu banyak manusia. Tantu Panggelaran mengisahkan Bathara Guru (awatara Siwa) mengutuk Dewi Uma menjadi raksasi karena memakan anaknya sendiri.
Pertunjukan wayang kulit adalah dasar ritual ruwat Jawa Kuno yang diwarisi para pujangga pada masa pertengahan (abad 13 s.d. 16 Masehi) dalam pengembangan cerita pewayangan, tentu dengan perkembangan yang berbeda tergantung pujangga dan lokasi dibuatnya.
Masih ingat dengan kisah sperma Dewa Siwa yang jatuh ke samudra? Kamasalah, bayi yang lahir dari tetesan sperma Dewa Siwa ke samudra, tumbuh menjadi raksasa yang rakus. Kamasalah naik ke kayangan dan melawan para dewa. Dewa Siwa dalam wujud Bathara Guru pun mengalahkan Kamasalah dan mengakuinya sebagai anak, diberi gelar Bathara Kala.
Bathara Kala meminta izin memangsa di bumi. Ayahnya mengizinkan dengan perjanjian bahwa Bathara Kala harus tunduk pada siapa saja yang mampu membaca rajah Kalacakra yang dituliskan di tubuh Bathara Kala. Dewa Wisnu khawatir akan kemusnahan manusia karena kerakusan Bathara Kala, lalu ia turun ke bumi bersama dewa dewa lainnya. Dewa Wisnu menyamar sebagai dalang dan dewa dewa lainnya menjadi niyaga –penabuh gamelan– dan mempertunjukan wayang kulit yang mengundang Bathara Kala. Bathara Kala mengganggu –namun itu yang diharapkan– Dalang Kandhabuwana yang merupakaan jelmaan Dewa Wisnu. Dewa Wisnu mampu membaca rajah Kalacakra di tubuh Bathara Kala, sehingga Bathara Kala tunduk pada Dewa Wisnu.
Dalang Kandhabhuwana kemudian menetapkan siapa saja yang boleh dimangsa Bathara Kala. Mereka adalah orang-orang dengan ciri-ciri tertentu. Orang ini jika tidak ingin dimangsa oleh Bathara Kala, harus diruwat agar tidak hidup dalam kemalangan dan celaka. Kisah ini disebut Murwakala, yang harus dipentaskan sebagai wayang kulit saat ruwat dilaksanakan. Tradisi ruwat adalah elemen penting bagi masyarakat Jawa, dan berkembang menjadi ruwat desa dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk menghilangkan suatu bencana di kawasan tertentu, atau kita kenal sebagai tolak bala.
Salah satu tradisi ruwat, menjadi pertunjukan budaya, yakni pemotongan rambut gimbal di daerah Dieng. Mereka yang sudah diruwat, dianggap bersih dan bebas dari incaran Bathara Kala atau hal-hal celaka lainnya. Ruwat dianggap membawa manusia pada pengertian akan diri manusia yang sejati. Sosok yang ideal merujuk pada Bima, yang telah mendapatkan pengetahuan dari Dewa Ruci, yang ditulis oleh Pu Siwamurti dalam kitab Nawaruci.
Bima diutus oleh Begawan Durna, gurunya, untuk mencari air keabadian. Setelah mencari ke berbagai tempat, Bima masuk ke dalam samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci yang sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri. Bima kemudian diberi pengetahuan sejati. Usai keluar dari dalam samudra, Bima berubah menjadi pribadi yang sempurna. Kisah ini dipahatkan di Candi Sukuh.
Sosok Bima menjadi sosok yang ideal sebagai manusia sempurna di zaman akhir Majapahit. Bima juga dianggap sebagai perwujudan Bhairawa, salah satu aspek Dewa Siwa yang dipuja penganut Tantra. Pemujaan terhadap Bima menjadi marak pada kala itu.
Dalam tradisi Jawa, ruwatan perseorangan memiliki syarat untuk melakonkan wayang Murwakala. Kisah Sudamala, seperti yang ada di Candi Sukuh, biasanya dipilih untuk ruwat dengan tujuan membersihkan desa. Perbedaan skala ini begitu mencolok, antara perseorangan dengan daerah. Candi Sukuh, tak hanya memiliki kisah Sudamala, tak hanya memiliki kisah Dewa Ruci dan Bima. Kisah yang ada di Candi Sukuh, melebihi persyaratan untuk meruwat sebuah desa atau kadipaten. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa candi ini didirikan untuk sarana yang tidak biasa.
Candi Sukuh kemungkinan besar dibangun untuk meruwat negara. Pada masa itu, pengaruh Majapahit mulai tergerus. Rakyat kecil adalah korban dengan berbagai krisis, termasuk kepemimpinan. Candi Sukuh pun dibangun dengan kualitas tekstur bangunan yang kasar karena terburu-buru dan terdesak, agar Majapahit sentosa kembali seperti masa lalu.
Majapahit runtuh. Konflik internal memudahkan keturunannya menggempur raja terakhir yang bertahta. Nama Majapahit mungkin adalah kenangan, tapi kemakmuran nusantara tidak bisa dipandang sebelah mata. Kecantikan Ibu Pertiwi begitu menyilaukan mata, membuatnya menjadi incaran berbagai pihak. Kesentosaan nusantara bukan hanya cita-cita dan doa, tapi adalah tugas kita untuk mewujudkannya. Saat Ibu Pertiwi dikuasai secara paksa, tipu muslihat, seakan-akan diperkosa, maka hanya tentang waktu, ia akan menuntut balas pada apa dan siapa saja.